APA yang ada dibenak kita ketika mendengar kata perbudakan? Hampir semua orang akan membayangkan sebuah peristiwa kerja paksa yang banyak dilakukan ratusan tahun yang lalu.
Tapi, yang terjadi di Tangerang, Banten, ialah peristiwa hari-hari ini, bukan kejadian masa lampau. Bukan hanya itu, peristiwa tersebut terjadi di beranda rumah kita sendiri, bukan di tempat nun jauh di sana.
Pada Jumat (3/5) lalu, aparat kepolisian berhasil membongkar praktik perbudakan di sebuah industri pengolahan limbah menjadi perangkat aluminium yang berlokasi di Kampung Bayur Opak RT 03 RW 06, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur, Tangerang, Banten. Sebanyak 34 buruh dibebaskan.
Para buruh itu ditemukan dalam kondisi tidak terurus dan tertekan. Mereka dipaksa bekerja sekitar 16 jam dalam sehari dan tidak diperbolehkan menjalin kontak dengan dunia luar.
Para buruh juga tidak menerima fasilitas hidup yang layak, tidak diizinkan beribadah salat, bahkan dilarang istirahat. Sebagian besar dari mereka juga mengaku tidak menerima gaji.
Sampai saat ini polisi telah menetapkan lima tersangka. Para tersangka dikenai Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Polisi juga sudah memeriksa tiga anggota aparat negara, yakni seorang tentara dan dua polisi yang sering berhubungan dengan sang pemilik pabrik panci itu. Polisi tengah menelusuri apakah ketiga aparat tersebut menjadi beking dalam kasus perbudakan modern itu.
Bukan hanya itu, polisi juga tengah mendalami kemungkinan adanya aksi perdagangan manusia (human traficcing). Hal itu diperkuat oleh fakta soal keberadaan perekrut tenaga kerja noninstitusional yang berkeliling kampung menjaring calon-calon buruh.
Jelas bahwa peristiwa di Sepatan Timur, Tangerang, itu kian menampar wajah Republik ini. Ia seolah menjadi penegas bahwa urusan manusia dan kemanusiaan kerap terabaikan. Jangankan komitmen melindungi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, peristiwa di rumah sendiri saja terabaikan.
Rakyat di negeri ini seperti hidup dalam situasi darurat. Mereka seolah tidak punya induk lagi untuk menjamin kelangsungan hidup, baik bagi diri maupun anak cucu mereka.
Hak konstitusional para buruh yang diperbudak itu untuk memperoleh hidup layak dan memperoleh jaminan perlindungan dari negara pun bertepuk sebelah tangan. Beruntung praktik perbudakan modern tersebut terbongkar.
untuk
Kita tidak punya banyak waktu untuk terus membiarkan langkah-langkah pengingkaran terhadap harkat manusia dan kemanusiaan terus berlangsung. Ketika negara lain sudah berbicara kompetisi sumber daya manusia, kita malah mundur ke praktik masa silam pra peradaban dengan peristiwa konyol perbudakan.