Ada yang menarik selain kemenangan Indonesia dalam Piala Federasi Sepak Bola Asia Tenggara (AFF) di bawah usia 19 tahun (U-19). Siapa lagi kalau bukan komentatornya.
Banyak yang merasa terganggu. Tapi lebih banyak yang kemudian meniru teriakan "Jebret" atau "Ow ow ow" yang diteriakkan sang komentator, baik dalam obrolan maupun status di jejaring sosial.
Dihubungi Tempo, Senin, 23 September 2013i, Valentino Simanjuntak mengaku tidak mengira teriakan itu kemudian menjadi pembicaraan.
Bagaimana awal mula Anda memilih kata-kata "jebret"?
Ceritanya begini, biasanya saya membawakan acara play by play yanglebih mengarah ke Inggris, jadi saya lebih memberikan data-data sambil menyebut nama pemain. Tapi waktu di AFF saya diminta membawakan dengan gaya Amerika Latin dan Italia. Kalau di sini seperti di RRI (Radio Republik Indonesia) dan di kampung-kampung. Saya kan besar di kampung, Mbak. Di Srengseng Sawah.
Pada pertandingan pertama sampai pertandingan ketiga, saya hanya berkomentar "Ooooooo". Tapi setelah itu saya merasa kok kepanjangan dan kurang nancep. Akhirnya, kata "ooooo" itu hanya saya pakai kalau peluangnya terbuang.
Tapi saya masih mikir, saya butuh sesuatu kalau nendang. Waktu Indonesia lawan Malaysia itu, sebenarnya saya cuma keluarin "jebret" sekali. Pas siaran ulang gol pemain kita, saya lepas saja. "Jebreet." Di babak final semalam, setiap peluang saya teriak, "Jebreeet, oooo."
Sebenarnya kata "jebret" itu biasa saya pakai kalau main bola waktu kecil. Di kampung saya, di Srengseng Sawah, kalau kita nendang kenceng, istilahnya kan "kita jebretin kipernya aja". Atau "Awas loe ya, gue jebret loe."
Penampilan Anda di AFF banyak menuai komentar --ada yang positif, ada yang negatif. Tanggapan Anda?
Bagi saya komentar itu adalah bukti perhatian masyarakat sama kita. Apakah itu positif atau negatif, saya sih melihat kebanyakan positif. Tapi prinsip saya kita tidak bisa menyenangkan setiap orang setiap saat. Kita berusaha yang terbaik.
Dari mana tahu positif?
Dari stasiun teve setiap pertandingan, ratingnya selalu tinggi.
Anda juga sering menyisipkan kutipan orang-orang terkenal dalam komentar Anda...
Kutipan-kutipan itu untuk memberi nilai tambah. Karena bagi saya, pertandingan kemarin itu seperti Indonesia sedang bertempur. Makanya, saya kasih banyak kutipan dari para pahlawan.
Anda juga mengajak penonton berdoa...
Itu saya tiru dari Bung Sambas (komentator TVRI era 1980-an). Mengajak penonton untuk berdoa. Selain itu, kita juga di dalam studio tegang, lho. Sambil meyakinkan diri sendiri, saya ajak juga penonton untuk berdoa. Seperti yang saya bilang, harapan itu selalu ada.
Kalau ucapan saudara sebangsa dan se-Tanah Air, itu saya kutip dari Bung Karno.
Jadi komentator sejak kapan?
Awal karier saya jadi presenter sejak tahun 2006. Empat tahun di Indovision, tiga tahun di Global TV, dan sekarang baru Global TV sama MNC TV.
Bagaimana pengalaman Anda jadi komentator pertama kali?
Waktu pertandingan AFF under-19 tahun 2006 Korea lawan Jepang. Itu baru pertama kali, mendadak. Karena komentator dari luar yang kita undang berhalangan hadir, jadi saya harus mengomentari pertandingan yang bahkan saya belum tahu nama pemainnya. Tapi Puji Tuhan lancar dan masih dipakai. Setelah itu di Liga Italia, Liga Champion, dan Liga Eropa.