BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia dalam sejarah perkembangannya adalah bangsa yang ber-Ketuahanan Yang Maha Esa. Sebagai bangsa yang berbudaya telah mengalami proses pencarian, penemuan, pembentukan, perubahan, peningkatan dan pengembangan nilai. Nilai-nilai tersebut merupakan landasan dan sumber bagi pembentukan budaya bangsa, yang sepanjang sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai agama (Islam). Perkembangan budaya tersebut berjalan dalam rangka upaya manusia untuk mencapai kebahagiaan, sejahtera yang merata bagi seluruh bangsa, baik untuk kehidupan dunia maupun kelak di akhirat. Oleh karena itu pencarian, pengembangan, pemeliharaan serta pengalihan ilmu, sains, tenologi dan seni kepada generasi berikut (yang akan datang) merupakan sarana yang tidak bebas nilai. Demikianlah, perkembangan tersebut hendaknya mengandung manfaat dan rahmat bagi seluruh bangsa dan umat manusia. Keragaman budaya yang terdapat di Tanah Air merupakan kekayaan bagi pembentukan budaya bangsa dalam rangka pengembangan peradaban manusia. Sebagai bangsa yang berbhineka dalam watak, etnik, budaya dan agama merupakan kekayaan nasional (modal dasar) yang tidak sekedar membetuk budaya bangsa, lebih dari itu adalah membentuk kepribadian bangsa sesuai dengan Pancasila. Pewarisan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan perlu mempunyai sistem, metode dan pengelolaan yang lebih memadai. Dan di antara jalan untuk mewujudkan manusia yang berkeseimbangan tersebut melalui proses pedidikan. Namun yang terjadi adalah pendidikan nasional hanya mengembangkan kecerdasan otak, kecakapan keilmuan dan penguasaan keterampilan, tanpa diimbangi dengan pendidikan akhlak, pananaman semangat mengabdi atau berdedikasi. Pengembangan pendidikan hanya dilakukan secara administratif ketatalaksanaan pendidikan formal, bukan secara fundamental. Pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan zaman tidap dapat menempatkan diri pada posisi strategis, bahkan terkungkung dalam posisi yang defensif atau kurang memiliki kemampuan ofesifitas yang tinggi. Pendidikan Islam sering kali dituduh sebagai sistem pendidikan yang konservatif dan konvensional sehingga umat Islam tidak bisa berharap banyak akan lahirnya nuansa-nuansa atau inovasi-inovasi baru. Oleh karena itu, Prof. Jusuf menegaskan, bahwa perlu diselenggarakan pendidikan melalui bidang-bidang humaniora, karena humaniora memberikan kepekaan, keinsyafan dan penghayatan nilai-nilai yang tersimpan dalam ke-Esa-an Tuhan untuk menjadi manusia yang beradab. Barangkali kritik yang disampaikan K.H. Saifuddin Zuhri di atas senada dengan ungkapan Azyumardi Azra, bahwa modernisme dan modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia yang berlangsung sejak awal abad ke-20 hingga saat ini nyaris tanpa melibatkan wacana epistimologis; modernisme dan modernisasi sistem dan kelembagaan pedidikan Islam di Indonesia cederung diadopsi dan diimplementasikan begitu saja. Karena itu proses tersebut berlangsung secara adhoc (sementara) dan parsial, sehingga modernisasi yang dilakukan kemudian cenderung bersifat involutif, yakni sekedar perubahan-perubahan yang hanya memunculkan persoalan baru dari pada terobosan-terobosan yang bisa dipertanggungjawabkan, baik dari segi konsep maupun viabilitas, kelestarian dan kontinuitas. Meskipun dilakukan penyesuaian dengan kecenderungan pendidikan modern, madrasah tetap dituntut menampakkan ciri khasnya sendiri yang memperhatikan ilmu-ilmu agama secara proporsional. Namun persoalan yang muncul adalah, dalam era modern, madrasah berada dalam tarik menarik antara keharusan mempertahankan pengajaran ilmu-ilmu agama secara modern di satu pihak dan mengembangkan ilmu-ilmu non-agama di lain pihak. Sikap yang terlalu konservatif menjadikan madrasah terasing atau bahkan lenyap dari perkembangan modern. Selanjutnya sikap yang terlalu akomodatif terhadap kecenderungan pendidikan modern (sekuler) akan menjerumuskan madrasah (lembaga pendidikan Islam) lepas dari nilai-nilai keislaman.