BAB II
RIWAYAT HIDUP KH. SAIFUDDIN ZUHRI, AKTIVITAS KEPENDIDIKAN DAN KARYA-KARYANYA
A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Saifuddin dilahirkan oleh pasangan suami istri H. Mohammad Zuhri dan Siti Saudatun pada tanggal 1 Oktober 1919 di sebuah kota kecil Sokaraja Tengah, Banyumas, Jawa Tengah. Saifuddin lahir dari sebuah keluarga sederhana; ayahnya, H. Mohammad Zuhri bin H. Abdurrasyid bin H. Dja’far yang lahir di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah pada tahun 1901, adalah petani-santri di kampungnya. Mohammad Zuhri adalah putra ke delapan dari sembilan bersaudara, tumbuh dan besar di kalangan keluarga santri yang taat menjalankan perintah agama. Minatnya belajar agama tergolong tinggi, sehingga setelah belajar dengan ayahnya dirasa cukup, Mohammad Zuhri meneruskan belajar ilmu agama di pesantren. Ada empat pesantren yang tercatat membekali pengetahuan agamanya, yaitu Pondok Pesantren Baogangin Sumpyuh, Banyumas, Pondok Pesantren Lirap, Kebumen, Pondok Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur dan Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Berbekal ilmu agama yang diperoleh dari beberapa pesantren tersebut, Mohammad Zuhri terjun dalam pengabdian kepada masyarakat. Bidang yang digelutinya adalah pendidikan, yaitu dengan mengajarkan beberapa kitab dalam berbagai cabang ilmu keislaman. Mohammad Zuhri mengajarkan Sulam al-Tauhid pada bidang ilmu tauhid. Di bidang fiqih ia mengajarkan Fath al-Qarib al-Mujib dan Fath al-Mu’in. Sedangkan untuk bidang ilmu alat kitab yang dia ajarkan adalah al-Jurumiyyah, Minhat al-I’rab, al-‘Imrithy dan Alfiyah ibn Malik. Disamping itu ia juga mengajarkan bidang ilmu lain seperti ilmu manthiq (logika) dan balaghah (sastra Abar). Selain mengajar, Mohammad Zuhri aktif dalam organisasi sosial dan keagamaan. Antara lain ia pernah menjadi anggota Paksi Muda, Seni Hadrah NU, pemimpin Jam’iyyah Dziba’an dan anggota tareqat Sadziliyah cabang Banyumas di Sokaraja. Pada hari-hari kerja, Mohammad Zuhri membantu pekerjaan orang tuanya : menarik bendi. Dia sendiri memiliki satu dokar dengan dua ekor kuda dan memiliki seorang pembantu bernama Mukarta yang dipekerjakan sebagai kusir. Muhammad Zuhri sebagai anak nomor delapan dari sembilan bersaudara, dia paling dekat dengan rumah orang tuanya, Haji Abdurrasyid, atau eyang Haji Saifuddin memanggilnya, sudah semestinya Muhammad Zuhri senantiasa membantu melayani kebutuhan sehari-hari orang tua yang tinggal satu-satunya itu. Selain mengoperasikan bendi, Muhammad Zuhri juga sering membantu mengairi sawah, menyemaikan bibit padi dan membuat orang-orangan pada saat padi mulai berbuah. Sementara untuk menanam padi, mencabuti rumput dan saat panen biasanya dikerjakan oleh buruh tani yang telah lama dipercaya Haji Abdurrasyid. Ketika panen Muhammad Zuhri diberi tugas orang tuanya untuk menyisihkan padi yang bagus guna pembayaran zakat. Sedangkan pembagiannya dipercayakan Mukarta untuk membagi-bagikannya kepada tetangga yang tergolong miskin, janda-janda melarat dan guru-guru ngaji. Kakek Mohammad Zihri atau kakek buyut Saifuddin bernama H. Dja’far, semasa hidupnya pernah menjadi prajurit dalam perang Diponegoro (1825-1830) di daerah Bagelen. Sebelumnya H. Dja’far juga pernah ikut kerja paksa membuat jalan raya Daendels di tapal batas Jawa Tengah – Jawa Barat. Dengan demikian dari garis keturunan ayahnya, Saifuddin bin H. Mohammad Zuhri adalah keturunan santri, tani dan pejuang. Adapun Siti Saudatun binti Mas Amari, ibu kandung Saifuddin, adalah santri yang berprofesi sebagai pengrajin sekaligus pedagang batik. Siti Saudatun adalah putri pertama dari dua bersaudara, adiknya bernama Siti Sopiah bersuamikan seorang pegawai pegadaian. Mas Amari, yang dipanggil Saifuddin dengan sebutan eyang kakung, walau datang dari keluarga priyayi yang tinggal di pusat kota Purbalingga, yang memiliki kesempatan untuk menjadi pegawai gubernemen, tapi ia lebih cenderung memilih profesi sebagai pedagang. Sejak kanak-kanak Siti Saudatun diambil menjadi anak angkat oleh salah seorang bibinya, istri Haji Isro’, saudagar kaya di kota Purbalingga. Namun ia lebih sering menghabiskan waktunya bersama bibinya yang lain, yaitu istriya Kiai Nur Hasani, seorang guru tareqat Syattariyah di Pasir Luhur Purwokerto, Jawa Tegah. Sedangkan Siti Sopiatun, adik kandung Siti Saudatun, diasuh oleh ibunya atau Eyang Putrinya Saifuddin. Hal ini terjadi karena Mas Amari menceraikan istrinya, Siti Salbiyatun binti H. Asraruddin ketika kedua anak mereka masih kecil. Adapun H. Asraruddin semasa hidupnya adalah seorang kiai yang memimpin pondok pesantren di Kebonkapol, Sokaraja, Banyumas. Atas permintaan Kanjeng Bupati Banyumas yang begitu mendesak, akhirnya H. Asraruddin tidak kuasa untuk menolaknya. Akhirnya dia bersedia diangkat menjadi penghulu landread (pengadilan negeri), tapi dengan satu syarat : ia masih tetap diperbolehkan memimpin pesantrennya di Kebonkapol, Sokaraja. H. Asraruddin dan garis keturunannya dinyatakan sebagai keturunan Sunan Giri, salah seorang dari Wali Songo. Pada usianya yang ke 18 tahun, Mohammad Zuhri bin H. Abdurrasyid bin H. Dja’far memperistri Siti Saudatun binti Mas Amari. Dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai 9 anak : Muhammad Kurdi, Saifuddin, Djakfar, Kusbandiyah, Supiyah, Rominah, Mudatsir, Ahmad Hussaini dan Wartiah. Saifuddin bin H. Mohammad Zuhri, yang kemudian dikenal dengan nama Saifuddin Zuhri, tumbuh dan dibesarkan serta dididik dalam lingkungan keluarga santri. Dalam keluarga, Saifuddin banyak memperoleh pengetahuan agama dari kedua orang tuanya yang sangat menunjang pendidikan selanjutnya, baik secara formal maupun non-formal.
Secara formal, Saifuddin tidak mengenyam pendidikan yang tinggi. Dia sangat antusias untuk menuntut ilmu, khususnya ilmu agama, dan pengetahuan lainnya. Dia sempat belajar di sekolah Bumiputera yang lazim dikatakan masyarakat saat itu “Sekolah Ongko Loro” karena di depan sekolah tersebut terdapat papan bertuliskan kalimat berbahasa Belanda “2e Inlandsche School” yang artinya Sekolah Bumiputera Kelas Dua. Di sekolah ini Saifuddin belajar sampai di kelas terakhir (kelas lima),