Pada awal perkembangan gagasan modernisme pendidikan Islam, setidak-tidaknya terdapat kecenderungan-kecenderungan pokok dalam eksperimen yang berkelanjutan dari para tokoh modernis dan ormas-ormas Islam. Bentuk eksperimen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : pertama, mengadopsi seluruh kurikulum HIS (Holands Inlandsche School) dengan memasukkan pelajaran agama Islam. Kedua, eksperimen yang dilakukan bertitik tolak dari sistem dan kelembagan pendidikan Islam itu sendiri dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum dan teknik serta metode pengajarannya. Dari eksperimen pertama ternyata yang terjadi bukan hanya kemerosotan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam, tapi juga mandegnya regenerasi dan reproduksi ulama. Sementara eksperimen kedua dengan memodernisasi pendidikan Islam asli Indonesia, yang belakang ini malah dijadikan alternatif dan lebih mengakar kuat dan mendalam, serta lebih acceptable bagi masyarakat Indonesia, dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga tidak menghasilkan insan-insan yang beribadah saja (untuk kepentingan akhirat), tapi juga diimbangi dengan kecakapan-kecakapan praktis untuk keperluan hidup di dunia.
Dalam kerangka inilah kita bisa memahami munculnya persoalan dikhotomi pendidikan (Islam dan umum). Kedua bentuk eksperimen tersebut di atas nampaknya sampai saat ini terus berlangsung. Dengan demikian kita melihat dua arus utama : pertama, sistem dan kelembagaan pendidikan Islam yang sebenarnya merupakan pendidikan umum dengan penekanan seadanya pada aspek-aspek pengajaran Islam. Termasuk dalam kategori ini adalah madrasah pasca UUSPN 1989, yang secara eksplisit menyatakan bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri keagamaan. Lalu di manakah identitas dan distingsi keislamannya?.
Kedua, adalah sistem dan kelembagaan pesantren dalam banyak hal telah dimodernisasi dan disesuaikan dengan tuntutan zaman. Modernisasi pesantren yang terjadi pada awal abad ke-20 dan menemukan momentumnya pada tahun 1970-an telah banyak mengubah sistem dan kelembagaan pendidikan pesantren. Dalam banyak hal, pada waktu-waktu terakhir banyak pesantren yang tidak hanya mengembangkan madrasah sesuai dengan pola Deparemen Agama, tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi umum. Persoalan lain adalah, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Indonesia mewarisi pendidikan politik kolonial yang harus dikikis habis dan harus berusaha menghancurkan tradisi-tradisi dan pengertian-pengertian lama serta membangun satu kehidupan atas dasar cita-cita bangsa Indonesia yang tersimpul dalam falsafah negara Pancasila. Sebagai negara yang moyoritas muslim nampaknya telah terkecoh melihat kemajuan sektor ekonomi, industri, politik yang didemonstrasikan oleh negara-negara sekuler sehingga terpancing untuk mengadopsi sistem pendidikan sekuler secara apriori. Hal ini menyebabkan hegemoni negara atas pendidikan sangat besar sekali, padahal seharusnya pemerintah memberikan kebebasan kepada penyelenggara pendidikan atas dasar kepercayaan dan masyarakat sebagai pengawas langsung terhadap pendidikan tersebut. Dengan perkembangan tersebut di atas, apa yang tersisa dari dari aspek kelembagaan pesantren adalah boarding systemnya. Dan boarding system ala pesantren ini ternyata menemukan momentum popularitas baru. Yayasan Al-Azhar dan Yayasan Wakaf Paramadina misalnya, telah mengadopsi boarding system pesantren untuk mengembangklan sekolah Islam unggulan atau dalam istilah Azyumardi Azra disebut sebagai “sekolah elit muslim”. Meskipun dengan perkembangan tersebut dikatakannya sebagai era baru kebangkitan Islam Indonesia, namun terkesan sebagai lembaga pendidikan yang eksklusif dan menciptakan kesenjangan sosial dilingkungan umat Islam sendiri. Hal ini juga merupakan sebuah persoalan. Sedangkan pesantren (madrasah) sebagai lembaga pendidikan Islam selama ini mencerminkan bentuk lembaga pendidikan yang merakyat atau populis, sudah dianggap ketinggalan zaman. Pada hal di sinilah ditanamka pendidikan idealisme, yang hal ini menjadi esensi pendidikan Islam khususnya, dan pendidikan nasional pada umumnya. Tidak sedikit teori pendidikan Islam yang dibangun berangkat dari telaah bio-phisic ini. Oleh karena itu dalam tataran paradigmatik secara operasional penyelenggaraan pendidikan Islam selama ini adalah merupakan islamic education for the muslim, yaitu pendidikan Islam yang diberlakukan adalah pendidikan agama Islam yang pelaksanaannya menyesuaikan dengan pendidikan modern, bukan islamic education for islamic education, yaitu pendidikan Islam yang benar-benar dijiwai, dilandasi dan dikembangkan berdasarkan atau bersumber dari ajaran Islam. Dari hal-hal tesebut diatas, kiranya perlu dikaji secara mendalam pemikiran dan strategi pengembangan pendidikan Islam (nasional) oleh tokoh-tokoh nasional kita. Dalam hal ini penulis memilih sosok K.H. Saifuddin Zuhri sebagai tokoh kajian, dengan alasan bahwa beliau adalah seorang tokoh yang bergerak di bidang pendidikan dan dakwah. Meskipun beliau diangkat menjadi guru besar luar biasa di bidang dakwah pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, akan tetapi beliau juga menggeluti bidang pendidikan sejak usia remaja, baik mengajar, mendirikan maupun mengelola lembaga pendidikan, serta memandang bahwa pendidikan adalah sarana yang strategis dalam rangka upaya dakwah Islam.
B. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam menginterpretasikan Judul “Prof.K.H. Saifuddin Zuhri : Pemikiran dan Kontribusinya dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia”, bahwa yang menjadi pusat penelitian adalah pemikiran K.H. Saifuddin Zuhri tentang pendidikan dan usaha-usahanya dalam pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Untuk itu perlu kiranya penulis kemukakan penegasan istilah dari redaksi judul di atas agar dipahami secara kongkret dan operasional. Adapun penegasan istilah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Prof. K.H. Saifuddin Zuhri
Adalah Menteri Agama RI tahun 1962-1967, dilahirkan di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Oktober 1919. Disamping menempuh pendidikan formal, dia juga seorang autodidak yang tekun, berbagai ilmu pengetahuan dipelajarinya, seperti ilmu pendidikan, jurnalistik, politik, sejarah, sosial dan filsafat. Karier pendidikannya dimulai pada tahun 1934 dengan menjadi guru bantu di Madrasah Al-Huda Nahdlatul Ulama, pimpinan Kyai Mursyid. Pada tahun 1937-1938 dia mendirikan Sekolah Dasar Islam yang mengajarkan bahasa Belanda, bernama IWS (Islamitisch Westerse School) dan mendirikan sekaligus sebagai direktur “Kuliyatul Mu’allimin wa Muballighin”. Puncak kariernya diperoleh dengan diangkatnya sebagai guru besar luar biasa di bidang dakwah pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1964, dan terakhir menjabat Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah Jakarta. Dia wafat pada tanggal 25 Pebruari 1986 dan dikebumikan di pemakaman umum Tanah Kusir, Jakarta. 2. Pemikiran dan Kontribusi
Pemikiran berarti “proses, cara, perbuatan memikir”. Jadi studi pemikiran adalah suatu kajian, penyelidikan ilmiah tentang perbuatan memikir atau telaah atas pemikiran.