tapi dia tidak menerima sertifikat (ijazah), tanda tamat belajarnya, yang pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor yang memberatkan.
Pertama, karena untuk mengambil sertifikat itu harus ditebus dengan uang senilai 50 sen, sedangkan penghasilan ayahnya rata-rata 15 sen perhari. Dia tidak ingin membebani orang tuanya terlalu berat hanya untuk mendapatkan secarik kertas yang dianggap masyarakat sebagai barang tidak berguna. Bahkan ada yang mencemooh, bahwa secarik kertas itu paling-paling untuk “pembungkus terasi”, dan tidak akan ditanyakan malaikat Munkar dan Nakir di dalam kubur. Ketika aku memberi tahu kepada mereka bahwa insya Allah aku termasuk murid yang lulus dan bakal tamat Sekolah Dasar, mereka amat bersyukur. Dan ketika aku katakan sudah bertekad tidak akan mengambil sertifikat tanda tamat sekolah jika harus membayar Rp. 0,50 ,- dengan perlahan-lahan ayah manggut. Tapi ibu tidak ikut manggut. Ibu tidak bicara apa-apa …!
Kedua, yang lebih penting dari alasan pertama adalah Saifuddin merasa sangat keberatan untuk menjawab pertanyaan guru sekolahnya, yaitu : “termasuk golongan apakah orang tuanya itu?”. Menurut gurunya, jawaban Saifuddin sangat diperlukan untuk mengisi sertifikat atas namanya. Pertanyaan sepele itu ternyata tidak mudah untuk dijawab karena latar belakang keluarganya begitu kompleks, santri, priyayi dan petani. Tapi aku tetap dibayang-bayangi pertanyaan guruku yang menggoda di kepala, masuk golongan apakah orang tuaku itu? Akhirnya aku mengambil keputusan, pertanyaan itu tidak aku jawab. Aku tidak mau diganggu oleh pertanyaan seperti itu. Golongan apa pun untuk orang tuaku, jadilah. Yang sudah pasti, orang tuaku golongan orang baik-baik. Aku sangat menyintai mereka, aku bangga bahwa mereka menjadi orang tuaku.
Dari latar belakang keluarga, ayahnya yang petani-santri dan ibunya yang priyayi-santri, Saifuddin pernah dibuat bingung oleh guru sekolahnya, “Sekolah Ongko Loro”, karena dia harus menjawab pertanyaan : dari golongan apakah orang tuanya itu? Gurunya di “Sekolah Ongko Loro” menyatakan bahwa Saifuddin lulus sekolah, untuk itu ia harus memberikan jawaban yang sangat diperlukan oleh guru sekolahnya itu guna mengisi sertifikat atas namanya.
Namun demikian, Siti Saudatun berusaha menghilangkan darah ke-priyayi-annya dengan menanamkan pengertian kepada putra-putrinya. Penulis penilai sikap Siti Saudatun ini merupakan pelampiasan kebencian terhadap ayahnya, Mas Amari, priyayi yang telah menceraikan istrinya, ibu kandung Siti Saudatun, tanpa alasan yang tidak jelas. Sehingga Siti Saudatun ikut bibinya, istri Kiai Nur Hasani. Dengan demikian yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian Siti Saudatun adalah Kiai Nur Hasani.
Oleh karena dia diasuh oleh guru tareqat Syattariyah di Pasir Luhur, Purwokerto, Jawa Tengah, maka sedikit atau banyak menjadikannya hanyut dalam kemuslimahan yang kental dengan visi kemanusiaan yang agak unik. Visi tersebut misalnya tercetus dalam pandangan Siti Saudatun mengenai status priyayi vis-a-vis non-priyayi, ketika Saifuddin pernah bertanya kepadanya.
Suatu ketika aku menanyakan kepada ibu, mengapa Eyang Kakung dipanggil “Mas”? Tetapi ibu acuh tak acuh saja, segan menjawab. Dari paman Mukarta aku pernah diberi tahu, konon Eyang Kakung masih keluarga priyayi, ... Ketika sekali lagi aku tanyakan kepada ibu mengenai kepriyayian Eyang Kakung, ibu malah membalas bertanya : “Priyayi itu apa?” Lalu aku dinasehati, bahwa priyayi atau bukan, itu sama saja. Manusia yang baik adalah yang sembahyang, kelakuannya baik, mencintai sesama hidup dan rajin bekerja, sebab itu kamu harus mengaji dengan sungguh-sungguh supaya pandai, demikian nasehat ibu. Sejak itu aku tidak menanyakan lagi tentang priyayi.
Ketika Saifuddin duduk di kelas tiga “Sekolah Ongko Loro”, minat dan semangatnya untuk belajar ilmu agama sangat menggebu-gebu. Dia mengajukan permohonan kepada orang tuanya supaya dimasukkan “Madrasah Al-Huda Nahdlatul Ulama” yang baru saja dibuka di kampungnya oleh Ustadz Mursyid, kiai muda dari Solo. Pada hal sebelum madrasah itu dibuka, telah berkembang beberapa “Sekolah Arab” atau “Sekolah Sore” yang pada dasarnya juga disebut madrasah.
Saifuddin selama berminggu-minggu menunggu keputusan orang tuanya, berkenaan jadi atau tidaknya dia masuk Madrasah Al-Huda. Karena sudah tidak sabar lagi, selanjutnya permohonan Saifuddin meningkat menjadi tuntutan dan desakan, kalau perlu biarlah dia keluar dari “Sekolah Ongko Loro” agar tidak terlalu membebani orang tuanya, karena biaya di madrasah tersebut juga mahal, yaitu 25 sen sebulan, pada hal umumnya “Sekolah Arab” cuma 3 sen sebulan. Namun ibunya menasehati agar dia tetap melanjutkan sekolahnya serta menyatakan dukungannya kepada Saifuddin untuk memasuki madrasah. Untuk itu, sang ibu akan melakukan lobi kepada ayahnya. Saifuddin sangat tertarik dengan madrasah Al-Huda ini karena madrasah tersebut memiliki nama yang mentereng, sebab umumnya madrasah yang telah ada sebelumnya tidak menggunakan nama, cukup dengan sebutan “Sekolah Arab” Kebonkapol, atau “Sekolah Arab” Karangbangkang misalnya, dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain, umumnya madrasah waktu itu tidak memiliki nama, hanya ditambahkan dibelakangnya nama tempat “Sekolah Arab” tersebut. ... Al-Huda, artinya petunjuk-ALLAH, siapa tidak menggandrungi ini? … Dalam fantasiku, angan-angan masa kanak-kanak, dari Al-Huda aku akan memperoleh suatu petunjuk bagaimana naik jenjang menjadi orang. Aku tak pernah berkhayal menjadi orang besar, hanya ibu sering menanamkan pengertian kepadaku, jangan mau jadi orang yang sengsara, padahal orang bodoh paling sengsara hidupnya… ! Demikian kata-kata ibu yang paling membekas.
Selain itu, yang membedakannya dengan madrasah lainnya adalah di madrasah Al-Huda diajarkan ilmu lughah (bahasa ‘Arab) dengan tata bahasa dan paramasastranya. Di madrasah tersebut, mulai kelas tiga ke atas para santri diharuskan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ‘Arab, baik antar murid maupun antara murid dengan ustadz, selama di lingkungan madrasah. Sedangkan bahasa Jawa diajarkan melalui pelajaran sejarah Islam dan budi pekerti agar para santri berbicara dalam bahasa ibunya dengan baik dan sopan.