Di Desa Cibeureum, Cianjur yang sejuk dan damai, di sebuah rumah sederhana tinggal sebuah keluarga terdiri dari
Pak Sukri (Dedy Sutomo)dan
Ibu Sukri (Aminah Cendrakasih), dengan dua orang anaknya
Bayu (Septian Dwicahyo) dan
Gerhana (Andi Ansi). Lalu ada juga
Kakek (Hamid Arief) juga
Nenek (Mak Wok, Wolly Sutinah). Ada juga Pak Kepala Desa yang menduda, dan selalu dijadikan sasaran gosip Bu Suwito (Mieke Wijaya) yang kaya dan sombong.
Semua itu hanya ada di serial sinetron
Rumah Masa Depan, yang ditayangkan setiap Minggu siang di TVRI di tahun 1984-an. Rumah Masa Depan lahir setelah TVRI mengadakan dengar pendapat dengan para pengisi siaran tahun 1983.
Ali Shahab yang hadir melemparkan gagasan: bagaimana kalau film seri digarap sepenuhnya oleh kelompok di luar instansi itu. Maka disepakati PT September Promotion (Sepro) yang memproduksi film itu, dengan TVRI hanya menyediakan dana.
Rumah Masa Depan memang penurut pengakuan sutradara Ali Shahab memang terinspirasi dari film serial asing
A Little House on the Prairie yang juga diputar TVRI. Dan seperti halnya dengan semua tayangan di TVRI serial ini juga lengkap dengan pesan moral, maka disepakati Rumah Masa Depan harus memperlihatkan kerukunan antarwarga dari satu masyarakat pedesaan. Seperti halnya serial A Little House on the Prairie yang berpusat pada keluarga Michael Landon, demikian juga pada Rumah Masa Depan, tokoh sentral serial ini adalah keluarga Pak Sukri, dengan segala suka dan dukanya. Selain pemeran keluarga Pak Sukri ada banyak bintang tamu yang turut menyemarakkan serial ini seperti
Sukarno M. Noor, Tino Karno, Mila Karmilabahkan sutradara Ali Shahab juga ikut main di beberapa episode.
Episode pertama berjudul
Nenekku Manis Jangan Menangis. Ceritanya tentang Mak Wok yang kesepian di tengah ingar-bingar ibukota Jakarta, lalu jatuh sakit, lalu kembali ke desa, tinggal bersama anak dan cucu. Sebuah awal yang menjanjikan kampanye ‘lirik desa, tinggalkan kota’ Dakwah ini semakin jelas pada seri-seri selanjutnya: Cibeureum digambarkan sebagai desa yang teduh dengan para warga yang jujur. Kalaupun di suatu saat ada keributan biang keroknya selalu orang kota, atau orang yang baru pulang dari kota. Bu Suwito, tokoh nyinyir yang dalam beberapa episode, digambarkan sebagai tukang bikin runyam, adalah contoh. Ia sok modern, sombong, tetapi selalu pada akhirnya menyesal dan minta maaf.
Ada lagi salah satu episode
Yang Lepra Yang Terhina yang menceritakan Pak Kosin seorang pengrajin tanah liat juga seorang penderita lepra. Dia dikucilkan oleh orang-orang kampung karena penyakitnya. Dalam episode
Anak Ajaib, Ali Shahab begitu membela anak desa yang tak bersekolah tetapi bisa mengalahkan anak-anak kota dalam adu cerdas-cermat, hanya karena anak yatim ini berjualan majalah yang sekaligus menjadi sumber ilmunya. Dan pesan moralnya di sini jelas: pendidikan tak hanya diperoleh dari bangku sekolah.
Sayang serial yang legendaries itu tidak bertahan lama. Mengingat waktu itu TVRI mengharamkan adanya iklan komersial di televisi maka tidak ada pendapatan dari sponsor, konon PT September Promotion menanggung sejumlah kerugian materi selama produksi ini berlangsung.