Saya terkesan dengan cerita mengenai sosok Pak Priyanto, seorang kepala sekolah yang dengan gigih memperjuangkan dan memajukan pendidikan di Indonesia. Mendidik dan mengarahkan siswa khususnya siswa tidak mampu dengan belajar mandiri untuk membiayai sekolahnya. Sungguh patut menjadi teladan bagi para siswa, guru, maupun kepala sekolah, dan juga patut dihargai oleh pemerintah. Berikut ini cerita yang saya ambil dari sumber aslinya www.kompas.com.
Priyanto Memandirikan Siswa Miskin
Tak menolak siswa miskin yang mau melanjutkan ke SMKN 2 Subang, Jawa Barat. Kebijakan inilah yang dijalankan Priyanto, Kepala SMKN 2 Subang, untuk membuat anak-anak dari keluarga tak mampu dapat mengubah nasib keluarga.
Ia tak menyediakan beasiswa bagi siswa miskin.
Menurut dia, siswa miskin perlu diajari tak mengandalkan bantuan orang lain untuk melanjutkan pendidikan. Selain itu, jika mengandalkan beasiswa, siswa miskin yang bisa bersekolah di SMK berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional ini juga terbatas jumlahnya.
Priyanto bersama para guru memikirkan cara untuk menampung sebanyak mungkin lulusan SMP dari Subang. Mereka menemukan solusi dengan menggandeng perusahaan yang mau menerima siswa bekerja.
Kategori siswa dibagi menjadi siswa mandiri yang tak mampu tetapi nantinya membayar dari hasil keringatnya sendiri. Ada pula kategori siswa reguler yang biaya pendidikannya dibayar orangtua.
Siswa mandiri SMKN 2 Subang jumlahnya lebih dari 50 persen, sedangkan di kelas jauh yang menginduk ke SMKN 2 Subang lebih dari 70 persen. SMKN 2 Subang mengembangkan kelas jauh di Cipeundeuy (sudah menjadi SMKN), selain di Cikaum, Ciasem, Legon Kulon, Binong, Patokbeusi, Dawuan, Cibogo, Kasomalang, Cisalak, Pagaden dan Pagaden Barat, serta Compreng.
Gagasan siswa mandiri dan kelas jauh membuat Kabupaten Subang terpilih menjadi salah satu kota vokasi di Indonesia. ”Pendidikan di SMK untuk menyiapkan siswa bekerja. Mengapa siswa tak punya waktu kerja berkaitan dengan pendidikan di perusahaan, setidaknya tiga semester,” ujarnya.
Sekolah meminta perusahaan membayar siswa yang bekerja layaknya karyawan selama 3-4 semester. Siswa tak mampu membayar Rp 100.000, sedangkan yang mampu Rp 150.000 per bulan. Keinginan itu disambut sejumlah perusahaan.
Siswa mandiri ditampung di beberapa perusahaan hingga luar Subang, seperti PT East West Seed Indonesia untuk pertanian, PT Banshu Electric Indonesia dan PT Kinenta Indonesia untuk otomotif, PT Mandalawikri untuk permesinan, PT Puji Utami dan PT Gilontas International untuk pelayaran, serta Hotel Lembah Sarimas untuk pariwisata dan perhotelan.
”Siswa miskin di sekolah ini diajari membiayai diri sendiri. Ini bertujuan menumbuhkan kepercayaan diri siswa,” ujar Priyanto yang menerima siswa miskin tetapi bertekad kuat untuk belajar, tanpa syarat.
”Dulu, sekolah menghabiskan Rp 40 juta untuk beriklan agar siswa mau sekolah di SMK. Hasilnya tak memuaskan. Setelah ada kelas mandiri, banyak siswa yang berminat,” ujarnya.
Pendidikan ketarunaan
Belajar dari pengalaman kerja siswa mandiri, sekolah memahami kebutuhan tenaga kerja. Dunia industri meminta pekerja yang jujur, sehat, bisa diatur, disiplin, tertib, taat perintah, tak cengeng, dan mampu bekerja dalam tim.
Untuk membentuk siswa sesuai kebutuhan dunia industri, sekolah menerapkan pendidikan ketarunaan selama enam bulan bagi siswa baru. Pendidikan karakter ini membuat siswa bermental tangguh.
Rasa puas terhadap kinerja dan karakter siswa SMKN 2 Subang membuat makin banyak perusahaan yang menggandeng siswa. Bahkan, PT Kinenta Indonesia Purwakarta, perusahaan pemasok wiring harness, mengalihkan produksi ke sekolah dengan membuka teaching factory. Di ”pabrik” ini siswa bekerja layaknya karyawan, selama 7-8 jam.
Dalam waktu dekat ada perusahaan Jepang yang akan membuka pabrik di sekolah guna memproduksi 85 jenis sarung tangan. Pada tahap awal dibutuhkan 600 pekerja dari siswa mandiri, lalu berkembang hingga 2.000 siswa.
Tak kaku
Priyanto tak kaku memaknai proses pembelajaran SMK. Ia bersama para guru mengadaptasi kurikulum sesuai kondisi dan kebutuhan siswa. Tiap program keahlian harus mampu berproduksi guna mendukung siswa mandiri. Ada 12 program keahlian, seperti pertanian, peternakan, perikanan, otomotif, pelayaran, komputer, permesinan, tata boga, dan tata busana.
Apa yang dikerjakan Priyanto pernah diprotes dinas pendidikan setempat hingga pengawas. Terobosan yang dilakukan sekolah ini dinilai ”melanggar” aturan formal SMK.
”Kesempatan ini saya pakai untuk menjelaskan tujuan pendidikan nasional, terutama SMK. Cara ini justru membantu pemerintah agar indeks pembangunan manusia di Subang meningkat. Siswa SMK yang terbiasa bekerja tak akan menjadi penganggur. Ini sejalan dengan tujuan pemerintah mendirikan SMK,” katanya.
Ia juga pernah didatangi lembaga swadaya masyarakat pembela hak anak. Ia dicurigai mempekerjakan anak di bawah umur. Menghadapi kecurigaan itu, ia balik bertanya, apakah negara yang seharusnya melindungi dan memenuhi hak anak bangsa memenuhinya?
”Jika ada perusahaan yang peduli dan memercayai sekolah, apakah kelas mandiri salah? Mereka mampu berdiri tegak tanpa disantuni negara. Sekolah ini hanya ingin agar lulusan SMP bisa sekolah di SMK dan setelah lulus bisa bekerja.”
Setiap tahun ratusan siswa direkrut untuk bekerja di Jepang, Korea, dan Malaysia. Siswa miskin yang tidur di lingkungan sekolah mendapat tambahan belajar bahasa Jepang dan Korea agar mereka siap bekerja di luar negeri.
Priyanto senang melihat siswa berhasil. Contohnya, siswa mandiri asal Temanggung yang tidur di masjid dan membuat pupuk di sekolah mampu bekerja di Korea dengan penghasilan Rp 16 juta-Rp 22 juta per bulan.
Sekolah pun membantu mencari pinjaman sebagai modal awal siswa bekerja di luar negeri. Ada Bank Perkreditan Rakyat di Subang yang memberi pinjaman. Alhasil, utang sekolah ini mencapai Rp 678 juta.
Awalnya, SMK ini hanya diminati sekitar 300 siswa. Saat Priyanto menjadi kepala sekolah tahun 2001, ia menantang para guru bersama- sama memajukan sekolah. Langkah ini membuahkan hasil. Cara yang ditempuh SMKN 2 Subang ditiru sejumlah daerah.
Priyanto, alumnus sekolah pertanian setara SMK, awalnya memilih pertanian agar bisa bekerja. Ia tak bisa kuliah karena keterbatasan dana. Namun, ia mendapat beasiswa pemerintah untuk melanjutkan pendidikan diploma tiga sebagai guru pertanian di IPB.
”Dalam hidup ini, saya hanya ingin berarti bagi orang lain. Menjadi guru, saya mempersiapkan siswa lulus dan bekerja. Mumpung menjadi kepala sekolah, saya berusaha membuka akses agar lulusan SMP dari keluarga miskin bisa sekolah,” ujarnya.
Sumber : www.kompas.com