Bangsa Indonesia sudah lama dijajah Belanda. Banyak hasil bumi yang dibawa ke sana dan digunakan untuk membangun negeri Kincir Angin tersebut. Tidak mengherankan ketika pemuda pemudi Indonesia mulai mendirikan perkumpulan untuk Indonesia merdeka, orang Belanda Tidak suka.
Akan tetapi, bagaimana pun kejamnya kaum penjajah itu, ternyata mereka juga meninggalkan banyak kenangan. Misalnya, perpindahan penduduk dari daerah padat dan miskin di Pulau Jawa, yang sekarang dikenal dengan nama transmigrasi. Program itu pada zaman penjajahan Hindia Belanda disebut kolonisasi. Tujuannya disamping pemerataan penduduk, orang-orang yang dipindahkan itu akan dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda yang berada di luar Pulau Jawa. Sebagian lagi ditempatkan di daerah-daerah baru
untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan baru.
Program kolonisasi itu dimulai tahun 1905. Pada awalnya hanya dilakukan di dalam Pulau Jawa, kemudian berkembang di luar Pulau Jawa, yaitu ke Pulau Sumatera, tapatnya di daerah Lampung.
Menjelang tahun 1932 sudah banyak keluarga Jawa yang dikirim ke Lampung dan ditempatkan di daerah Gedongtataan, Kota Agung, Wonosobo, dan sekitarnya. Baru pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mulai mengirimkan para kolonis (penduduk) itu ke daerah utara. Mereka ditempatkan di daerah Trimurjo, tepatnya di desa Adipuro yang dikenal dengan sebutan bedeng 1 atau BD 1. Salah seorang yang ikut program kolonisasi itu adalah Mbah Sumohadi (sekarang usianya sekitar 80 tahun), yang tinggal di BD 41 Desa Batangharjo, Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Tengah. Menurut Mbah Sum, panggilan akrabnya, waktu itu mereka ditempatkan di rumah-rumah yang dinamakan “bedeng”. Setiap orang mendapatkan
alat-alat pertanian.
Lalu, kenang Mbah Sum, lahan pertanian yang disuruh kerjakan itu diberi patok-patok sebagai batas. Rumah atau bedeng itu dibuat dengan menggunakan tiang karena daerah itu masih berupa hutan lebat dan banyak binatang buas. Untuk setiap beberapa bedeng ditempatkan pengawas. Ada pula mantra kesehatan
yang memberikan obat bila ada orang yang sakit. Penyakit yang diderita umumnya malaria.
Setiap calon desa waktu itu terdiri atas beberapa rumah bedeng. Makin lama derah yang ditempati makin ramai karena sudah banyak hutan yang dibuka, sedangkan penduduk ditempatkan di daerah yang dikenal dengan nama Metro. Untuk dapat ke lokasi BD 15 mereka harus menempuh perjalanan panjang melalui
Kotagajah, Gedongdalem, kemudian terus ke Metro. Antara tahun 1932 – 1935 belum ada jalan yang bisa dilewati kendaraan dari Trimurjo ke Metro, walaupun jaraknya sekitar 10 km.
Akan tetapi, menurut beberapa cerita, jalan dari Trimurjo ke Metro dirintis oleh Kolonis atas perintah dari penjajah Belanda. Karena banyak tanah rawanya, di atas jalan itu diletakkan kayu-kayu bulat agar dapat dilalui gerobak dan kendaraan milik orang Belanda.
Akhirnya, daerah sekitar Kota Metro dapat dijangkau dalam waktu singkat. Setelah jalan tembus dibuka, kemajuan kolonis di BD 15 begitu cepat. Kolonis di daerah Sukadana pun mengalami perkembangan pesat bahkan melebihi perkembangan daerah kolonis pertama di Gedongtataan, Lampung Selatan. Desa induk yang dibuat Belanda tanggal 5 Juni 1937 dipindahkan secara resmi ke Metro sebagai desa induk pengganti. Itu dilakukan melihat perkembangan Metro yang sangat pesat.
Tentang asal nama Metro itu sendiri ada dua cerita. Pertama, diambil dari bahasa Belanda, yaitu
centrum yang berarti pusat. Kedua, Kota Metro diberikan oleh para kolonis dari Jawa. Pada waktu itu, orang-orang Jawa yang ditempatkan di BD 15 merasa senasib sepenaggungan, memiliki bahasa yang sama.
Jadi, semua kolonis menanggung susah dan senang bersama-sama. Dari perasaan itulah mereka semula menyebutkan tempat itu sebagai
Mitro, berarti rekan. Lama-kelamaan pengucapannya berubah menjadi Metro. Sampai sekarang daerah itu dinamakan Metro. Menutu buku Dari Kolonisasi ke Transmigrasi pada tahun 1939 di Metro terdapat seorang kontrolir Belanda, seorang insinyur, dan seorang dokter pemerintah. Metro sebagai ibukota kolonisasi Sukadana bahkan telah memiliki pasar besar, kantor pos, pesanggrahan,
masjid, dan penerangan listrik.
Sampai tahun 1941 di Metro sudah ada 2 orang dokter, 13 orang mantri dan juru rawat, 1 orang mantri malaria, 80 orang pembagi kinina (?), 2 orang pembantu klinik, dan 1 orang bidan. Di samping itu ada berbagai sekolah khususnya sekolah yang dikelola misi Katolik. Sejak tahun 1941 saluran irigasi dari
Trimurjo terus diperpanjang dan tahun 1942 saluran yang dikenal oleh masyarakat Lampung Tengah dengan sebutan ledeng sudah mencapai Batanghari. Dengan perkembangan yang begitu pesat, dengan sendirinya derah sekitar Metro juga ikut berkembang dan tetap menggunakan nama bedeng.
Tidak mengherankan kalau di sekitar Metro dibuka lagi bedeng-bedeng baru sampai bedeng 67 yang kini berada di Kecamatan Sekampung. Di kota Metro sendiri bedeng-bedeng itu dipecah lagi, seperti bedeng 15 polos, bedeng 15 A, bedeng 15 B Barat, bedeng 15 B Timur, bedeng 15 Kauman, bedeng 21 polos, bedeng 21 B, bedeng 21 C, bedeng 21 D, bedeng 22, bedeng 16, bedeng 16 A, dan sampai bedeng 16 C.
Biasanya, di belakang nomor bedeng ditulis nama desanya, misalnya bedeng 16 C Mulyojati. Demikian pula penamaan bedeng lainnya yang sampai sekarang terbatas pada bedeng 67. Namun satu bedeng tidak semua menjadi satu desa. Ada juga satu bedeng dibagi menjadi dua desa, tergantung luas desa dan jumlah penduduknya.
Demikianlah asal usul Kota Metro yang sampai saat ini sudah berusia 73 tahun. Saat ini Metro merupakan kota administratif kedua di Lampung setelah Bandar Lampung. Kota Metro terdiri kecamatan Metro Raya dan Bantul.
KesimpulanDari asal usul Kota Metro, sangat terasa bahwa masyarakat Indonesia memiliki sifat gotong royong, saling menolong, serta sangat menghargai jasa-jasa dan karya cipta orang-orang yang lebih dahulu berbuat untuk orang banyak.
Sumber: (
Buku Cerita Rakyat dari Lampung 2, penulis Naim Emel Prahana, penerbit Grasindo)
http://sikamala.wordpress.com